Senin, 29 Juli 2013


OUTBOUND TRAINING SEBAGAI STRATEGI KONSTRUKTIVIS UNTUK MENINGKATKAN
TEAM BUILDING DAN PROBLEM SOLVING SKILL
Kajian Empiris pada Latihan Kepemimpinan Pengurus OSIS



Team building adalah bentuk kerja sama dalam satu tim. Suatu organisasi yang memiliki jiwa team building akan mampu mencapai tujuan bersama. Seberat apa pun rintangan yang akan dihadapi, tetapi jika ditangani oleh kelompok yang kompak dan solid, maka akan dapat dikerjakan dengan baik (Soenarno, 2006). Sedangkan outbound ialah keluar dari semua rutinitas sehari-hari agar dapat melihat diri sendiri dan tim dari perspektif yang berbeda sehingga diharapkan bernilai positif dalam meningkatkan kinerja dan efektifitas kerja perorangan maupun kelompok dan terjadi kolaborasi yang solid dalam kerja team building dalam suatu wadah organisasi (Sanoesi, 2008). Selanjutnya problem solving adalah sebuah usaha untuk menemukan cara yang tepat untuk mencapai sebuah tujuan ketika tujuan tersebut tidak langsung dapat diraih (King, 2010). Organisasi Siswa Intra Sekolah (OSIS) adalah suatu organisasi formal yang berada di tingkat sekolah di Indonesia yang dimulai dari sekolah menengah yaitu sekolah menengah pertama (SMP). Latihan/training adalah: (a) mengembangkan pemahaman, pengetahuan, dan keterampilan, (b) diberikan secara intruksional, baik dalam kegiatan indoor maupun outdoor, (c) objeknya seseorang atau sekelompok orang, (d) sasarannya untuk memberikan pemahaman, pengetahuan, dan keterampilan kepada siswa sebagai peserta sesuai dengan kebutuhannya, (e) prosesnya mempelajari dan mempraktekkan dengan mengikuti prosedur sehingga menjadi kebiasaan, (f) hasilnya adalah perubahan dalam sebuah tim kerja.


PENDAHULUAN

     Pembangunan nasional, pada hakekatnya bertujuan untuk membangun manusia Indonesia seutuhnya. Manusia merupakan inti pembangunan, mengingat keberadaannya sebagai tujuan dan pelaku pembangunan. Dengan kata lain, tujuan utama pengembangan manusia adalah membangun manusia agar menjadi manusia pembangun. Untuk itu, selain perlu untuk memiliki keterampilan, manusia perlu memiliki pengetahuan dan kesadaran akan proses di dalam kelompok tempat manusia berada (Cremer & Siregar, 1993).
     Menurut Soenarno (2006), kelompok yang berfungsi dengan baik adalah kelompok yang anggotanya memiliki motivasi yang jelas, bekerja secara terkoordinasi, terarah, teratur, serta tidak terhambat oleh masalah-masalah emosi atau masalah interaksi. Dalam kelompok atau tim kerja, masing-masing anggota akan berbagi informasi dan saling mendorong untuk dapat bekerja secara efektif. Sedangkan penelitian Paulus (dalam King, 2010) mengatakan bahwa seseorang akan berkinerja lebih baik ketika dalam kelompok.
     Organisasi Siswa Intra Sekolah (disingkat OSIS) adalah suatu organisasi yang berada di tingkat sekolah di Indonesia yang dimulai dari sekolah menengah yaitu sekolah menengah pertama (SMP) dan sekolah menengah atas (SMA). OSIS dikelola oleh murid-murid yang terpilih untuk menjadi pengurus OSIS. Biasanya organisasi ini memiliki seorang pembimbing dari guru yang dipilih oleh pihak sekolah. Anggota OSIS adalah seluruh siswa yang berada pada satu sekolah tempat OSIS itu berada. Seluruh anggota OSIS berhak untuk memilih calonnya untuk kemudian menjadi pengurus OSIS.
     Sebagai pengurus OSIS yang dipilih oleh seluruh siswa di sekolahnya, maka pengurus OSIS memiliki tanggungjawab untuk dapat melaksanakan seluruh program kesiswaan sekolah sampai akhir masa tugasnya dengan baik. Untuk itu, seluruh pengurus OSIS sebagai tim diharapkan memiliki team building yang kuat serta kemampuan pemecahan masalah (problem solving).
     Team building adalah bentuk kerja sama dalam satu tim. Suatu organisasi yang memiliki jiwa team building akan mampu mencapai tujuan bersama. Seberat apa pun rintangan yang akan dihadapi, tetapi jika ditangani oleh kelompok yang kompak dan solid, maka akan dapat dikerjakan dengan baik (Soenarno, 2006). Sedangkan menurut King (2010), pemecahan masalah adalah sebuah usaha untuk menemukan cara yang tepat untuk mencapai tujuan ketika tujuan tersebut tidak langsung dapat diraih.
     Sebuah studi penelitian Liebowitz dan De Meuse (1982) tentang meta-analisis integrasi penelitian yang menguji efek team building terhadap kinerja. Secara keseluruhan, tidak ada efek yang signifikan dalam  team building pada kinerja. Namun, efek dari team building bervariasi sebagai fungsi dari jenis operasionalisasi kinerja. Pada ukuran objektif kinerja, ada kecenderungan yang tidak signifikan team building mengurangi kinerja, sedangkan pada ukuran kinerja subyektif, ada yang signifikan, meskipun kecil, kecenderungan untuk team building untuk meningkatkan kinerja. Pemeriksaan team building tertentu mengungkapkan bahwa intervensi menekankan klarifikasi peran yang lebih mungkin untuk meningkatkan kinerja, sedangkan intervensi yang menekankan penetapan tujuan, problem solving, atau hubungan interpersonal tidak lebih mungkin untuk membuat peningkatan atau penurunan kinerja. Akhirnya, efek dari team building menurun sebagai fungsi dari ukuran tim. Terdapat implikasi dari efek team building pada kinerja.
     Salah satu hal yang banyak dilakukan untuk meningkatkan team building antar anggota kelompok agar lebih dapat mengenal antar anggota kelompoknya melalui pengalaman kebersamaan adalah dengan kegiatan outbond yang berdasarkan pada pendekatan experiential learning. Pepatah mengatakan bahwa “pengalaman adalah guru yang paling baik”. Makna yang sama telah dikemukakan oleh Confucius beberapa abad lalu. Confucius mengatakan “aku melakukan, maka aku memahami.” Hal inilah yang melandasi tujuan pendidikan dengan pendekatan experiential learning yang sekarang marak dilakukan sekolah dengan kegiatan outbond.
      Outbound training menyampaikan materi secara mendalam, dan mengupayakan para pengurus OSIS sebagai peserta juga dapat menyerap materi melalui tahapan-tahapan dalam outbound training tersebut. Maka proses pembelajaran dalam latihan kepemimpinan dalam bentuk outbound menanamkan pengurus OSIS untuk belajar dengan membentuk pengetahuannya sendiri, yang dikenal dengan pendekatan konstruktivisme dalam pembelajaran sehingga akan terjadi proses pembelajaran dimana siswa mengembangkan potensinya sendiri seperti yang dikehendaki definisi pendidikan dalam Undang-Undang Republik Indonesia nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.  Memotret fenomena ini, maka peneliti tertarik untuk mengulas lebih jauh bagaimana latihan kepemimpinan dalam bentuk outbound sebagai strategi konstruktivis dapat meningkatkan team building pengurus OSIS.

Outbond
     Banyak orang yang kemungkinan pernah mendengar kata outbound namun tidak cukup banyak yang memahami makna tentang outbound itu sendiri, kata outbound berasal dari pandanan dua suku kata dalam bahasa Inggris out dan  bounderes yang berarti keluar dan batas sehingga dalam pengertian yang sesungguhnya outbound itu ialah keluar dari semua rutinitas sehari-hari agar dapat melihat diri sendiri dan tim dari prespektif yang berbeda sehingga diharapkan bernilai positif dalam meningkatkan kinerja dan efektifitas kerja perorangan maupun kelompok dan terjadi kolaborasi yang solid dalam kerja team building dalam suatu wadah organisasi (Sanoesi, 2010).  Akitifitas outbound yang mengedepankan nilai-nilai kerjasama (team building) dan penempaan sikap mental seseorang agar lebih tangguh dalam menjalani aktivitasnya sehari-hari sehingga kembalinya pengurus OSIS dapat solid.  

Training
     Pemahaman tentang latihan/training adalah: (a) mengembangkan pemahaman, pengetahuan, dan keterampilan, (b) diberikan secara intruksional baik dalam kegiatan indoor maupun outdoor, (c) objeknya seseorang atau sekelelompok orang, (d) sasarannya untuk memberikan pemahaman, pengetahuan, dan keterampilan kepada siswa sebagai peserta sesuai dengan kebutuhannya, (e) prosesnya mempelajari dan mempraktekkan dengan menuruti prosedur sehingga menjadi kebiasaan, (f) hasilnya adalah perubahan dalam sebuah tim kerja (Sanoesi, 2010).
     Dari pengertian tersebut, didapatkan informasi bahwa latihan atau training bertujuan mengembangkan pemahaman, pengetahuan, dan keterampilan. Hal ini sangat senada dengan tujuan pendidikan untuk mengembangkan potensi, sehingga penulis menganggap training merupakan suatu proses pembelajaran juga.  Outbound training memiliki tahapan-tahapan dalam pembelajaran sebagai berikut: (1) pembentukan pengalaman, (2) perenungan pengalaman, (3) pembentukan konsep, (4) pengujian konsep.
     Dari beberapa tahapan tersebut, dapat disimpulkan bahwa dalam outbound training juga menyampaikan materi secara mendalam, dan mengupayakan para pengurus OSIS sebagai peserta juga dapat menyerap materi melalui tahapan-tahapan tersebut. Maka proses pembelajaran dalam latihan kepemimpinan menanamkan pengurus OSIS sebagai siswa sehingga dapat belajar dengan membentuk pengetahuannya sendiri, yang dikenal dengan pendekatan konstruktivisme dalam pembelajaran sehingga akan terjadi proses pembelajaran dimana siswa mengembangkan potensinya sendiri.
    Sebelum latihan dalam bentuk outbound dilakukan, tentunya harus dilakukan penyelidikan tentang materi yang diperlukan pengurus OSIS sebagai peserta, kemudian menyusun kurikulum dan permainan yang dapat disesuaikan dengan goal dari outbound tersebut. Hal ini identik dengan kegiatan merancang perencanaan pembelajaran. Sehingga terjadi pembelajaran yang efektif dari latihan kepemimpinan dalam bentuk outbound tersebut.
     Namun menurut Sanoesi (2010), outbound training dalam penerapannya memiliki karakteristik penyajian yang berbeda dari proses pembelajaran biasanya. Menurut Sanoesi (2010), program disusun sebagai berikut: (a) perkenalan dan peregangan (stretching), (b) ice breaking, (c) penjelasan program, (d) perencanaan (planning), (e) pelaksanaan kegiatan (action), (f) refleksi dan evaluasi, (g) pelaporan (reporting).
     Latihan kepemimpinan dalam bentuk outbound merupakan jenis latihan di alam terbuka (outdoor) untuk pengembangan diri (self development) yang disimulasi melalui permainan-permainan edukatif (educative game) baik secara individual maupun kelompok dengan tujuan untuk meningkatkan motivasi, kepercayaan diri, berpikir kreatif, rasa kebersamaan, tanggung jawab,  komunikasi,  rasa saling percaya. Setiap game outbound mempunyai tujuan-tujuan yang antara lain team building, communication skills, problem solving, dan meningkatkan motivasi.

Manfaat Latihan Kepemimpinan dalam Bentuk Outbound
     Kegiatan outbound bermanfaat untuk meningkatkan keberanian dalam bertindak maupun berpendapat. Kegiatan outbound membentuk pola pikir yang kreatif serta meningkatkan kecerdasan emosional dan spiritual dalam berinteraksi. Kegiatan ini akan menambah pengalaman hidup seseorang menuju sebuah pendewasaan diri. Secara spesifik Sanoesi (2009) menyebutkan manfaat kegiatan outbound ini dapat dikelompokkan menjadi 5 (lima) area yaitu:
1.    Manfaat psikologis, yakni pengalaman yang didapatkan selama aktifitas outbound ini biasanya merupakan pengalaman baru buat sebagian besar anak. Sehingga pengalaman ini akan terekam dan tinggal di pikiran peserta didik dalam rentang waktu yang cukup lama dan berdampak positif secara psikologis. Sehingga dari pengalaman itu pengurus OSIS sebagai peserta pelatihan akan mendapatkan manfaat positif secara psikologis antara lain:
(a) menumbuhkan rasa percaya diri, (b) meningkatkan pemahaman tentang konsep diri, (c) meningkatkan harga diri, (d) meningkatkan kemampuan beradaptasi dengan lingkungan baru, (e) meningkatkan keberanian untuk menguji kemampuan diri, (f) memberikan sensasi positif saat mencoba hal baru, (g) meningkatkan perasaan yang lebih sehat.
2.      Manfaat sosial dari pelaksanaan outbound selalu melibatkan beberapa orang atau kelompok, sehingga pengalaman yang dirasakan peserta bukan hanya pengalaman secara teknis yang berkaitan dengan tantangan yang sama. Secara sosial akan berdampak positif terhadap perkembangan pengurus OSIS antara lain sebagai berikut: (a) mengembangkan sikap peduli pada orang lain, (b) mengembangkan kemampuan komunikasi, (c) mengembangkan rasa memiliki, (d) mengembangkan kemampuan untuk memberi umpan balik positif, (e) mengembangkan kemampuan untuk membangun persahabatan, (f) mengembangkan kemampuan untuk mengendalikan diri.
3.      Manfaat edukasional, aktifitas outbound diharapkan mampu melengkapi proses belajar yang telah dilakukan dalam kelas. Sehingga gabungan antara kegiatan yang rutin dilakukan dalam lingkungan sekolah dengan belajar di luar lingkungan sekolah akan memberikan hasil pembelajaran yang menyeluruh. Bahkan kegiatan pembelajaran di luar ruangan ini bisa dijadikan sebagai media implementasi pengetahuan teori yang telah didapatkan atau sebagai sarana bereksperimen menggabungkan beberapa disiplin pengetahuan yang didapatkan di sekolah, juga bisa digunakan untuk membahas tema-tema khusus. Kegiatan ini dapat memberikan manfaat secara edukasional yakni
mengembangkan kemampuan dalam penyelesaian masalah dan menghargai alam.

Team Building
     Menurut Sanoesi (2010), team building merupakan adalah bentuk kerjasama dalam satu tim. Team building bukan sekedar teamwork. Teamwork merupakan unsur aksi secara aktif dalam moment tertentu. Team building jangka waktunya lebih lama. Pada team building, ada proses saling mengenal, proses belajar, trial and error, ada pengalaman kebersamaan yang saling dirasakan manfaatnya, serta saling mempunyai komitmen demi kesatuan tim. Selain jangka waktunya lebih lama, team building memiliki tahapan proses yang tidak dimiliki teamwork.

Problem solving
     Problem solving adalah sebuah usaha untuk menemukan cara yang tepat untuk mencapai sebuah tujuan ketika tujuan tersebut tidak langsung dapat diraih (King, 2010). Sedangkan menurut Santrock (2010), pemecahan masalah adalah mencari cara yang tepat untuk mencapai tujuan.

Konstruktivis
     Anak-anak terkadang berpikir secara mandiri, tetapi sebagai makhluk sosial kognisi anak seringkali bersifat kolaboratif. Konstruktivisme menekankan bahwa individu akan belajar dengan baik apabila seseorang secara aktif mengkonstruksi pengetahuan dan pemahamannya (Santrock, 2010).
     Satu prinsip terpenting dalam psikologi pendidikan yang melandasi teori belajar konstruktivis adalah bahwa guru pendamping dalam latihan kepemimpinan tidak bisa memberikan pengetahuan kepada peserta didik dengan begitu saja. Pengurus OSIS sebagai siswa harus membangun sendiri pengetahuannya. Hal ini sejalan dengan pendapat Bartlett (dalam Smith dkk, 2009) memelopori apa yang menjadi pendekatan kontruktivis. Konstruktivis percaya bahwa pembelajar mengkontruksi realitasnya sendiri atau paling tidak menfasirkannya berdasarkan realitasnya sendiri atau paling tidak menafsirkannya berdasarkan persepsi-persepsi pengalamannya, sehingga pengetahuan individu menjadi sebuah fungsi dari pengalaman, struktur mental, dan keyakinan-keyakinan seseorang sebelumnya yang digunakan untuk menfasirkan objek dan peristiwa. Apa yang seseorang tahu didasarkan pada persepsi dari pengalaman fisik dan sosial yang dipahami dalam pikiran (Jonasson, 1991).
     Guru pendamping hanya bisa menfasilitasi proses latihan kepemimpinan dalam bentuk outbound dengan pelbagai cara pembelajaran yang membuat informasi lebih bermakna dan relevan dengan kehidupan pengurus OSIS sebagai peserta dalam latihan kepemimpinan. Guru pendamping dalam latihan kepemimpinan dalam bentuk outbound training memberikan kesempatan seluas-luasnya bagi untuk menemukan sendiri informasi dan mengaplikasikannya, atau dengan pembelajaran yang mengupayakan pengurus OSIS sebagai peserta memiliki kesadaran untuk menggunakan strateginya sendiri dalam melaksanakan tugasnya dalam kepengurusan. Di sini guru pendamping hanya memberikan kepada peserta tangga-tangga menuju pemahaman yang lebih tinggi, dan pesertalah yang harus menaiki tangga-tangga tersebut dengan sendirinya.
     Hakikat teori belajar konstruktivis terletak pada gagasan bahwa pembelajar sendiri yang menemukan dan mengolah pelbagai informasi atau ide-ide yang kompleks menjadi miliknya sendiri. Menurut teori ini, pebelajar selalu memeriksa informasi-informasi baru yang berlawanan dengan aturan-aturan lama, dan memperbaiki aturan-aturan tersebut jika tidak berfungsi lagi. Pandangan konstruktivis ini memiliki implikasi pada pembelajaran untuk mengupayakan peserta sebagai pebelajar aktif. Karenanya, strategi konstruktivis ini seringkali disebut student-centered instruction, pembelajaran yang terpusat pada peserta didik.
     Teori konstruktivisme memiliki akar sejarah yang berujung pada Piaget dan Vygotsky, dua tokoh yang menekankan bahwa perubahan kognitif niscaya terjadi ketika konsepsi lama berlalu dalam proses ketidakseimbangan dengan informasi baru. Selain itu, keduanya juga menekankan pentingnya pembelajaran sosial (social nature learning) dan pemanfaatan pembelajaran berbasis kemampuan campuran (mixed-ability learning) untuk mendukung terjadinya perubahan konseptual.
     Pemikiran konstruktivis modern tergambar indah dalam teori-teori Vygotsky yang menekankan pada pembelajaran kooperatif, pembelajaran berbasis masalah, dan penemuan (Santrock, 2010).
     Berikut ini adalah konsep kunci dari Vygotsky yang memainkan peran penting dalam teori konstruktivisme, yaitu: 
1.      Social Learning.  Menurut Vygotsky, anak belajar melalui interaksinya dengan orang dewasa atau teman sebaya yang berkemampuan lebih. Karenanya, dalam kegiatan kooperatif, pengurus OSIS sebagai siswa akan mengetahui bagaimana proses berpikir teman-teman sebayanya. Metode ini tidak hanya membuat hasil belajar terbuka bagi peserta, tetapi juga membuat proses berpikir peserta yang lain terbuka bagi seluruhnya. Vygotsky menambahkan bahwa problem-solver yang sukses berbicara pada dirinya sendiri ketika menghadapi masalah-masalah sulit. Dalam kelompok kerjasama, pembelajar bisa mendengar “suara batin” tersebut dengan keras dan darinya mampu belajar bagaimana problem-solver tersebut berpikir dengan pelbagai pendekatannya.
2.      Zone of Proximal Development (ZPD), yakni jarak antara posisi perkembangan aktual yang dicapai oleh seorang anak di mana tidak mampu menyelesaikan masalah sendirian dengan posisi perkembangan potensial yang dicapainya karena petunjuk orang dewasa atau melalui kolaborasi bersama teman-teman sebaya yang lebih mampu. Vygotsky menyakini bahwa anak akan belajar dengan baik ketika berada di dalam zona perkembangan proximalnya. Karenanya, proses pembelajaran adalah proses mendekatkan jarak antara kedua posisi perkembangan (aktual dan potensial) tersebut. Jika jarak antara keduanya semakin dekat, itu berarti telah terjadi perkembangan. Pada zone inilah sesungguhnya proses belajar itu terjadi pada diri seorang anak, dan perkembangan dipandang sebagai hasil belajar.
Siswa yang menjabat sebagai pengurus OSIS dipersiapkan terlebih dahulu sebelum memulai kegiatan outbound training. Ketika dalam posisi yang siap untuk memperoleh pemahaman baru, maka tujuan dari pembelajaran melalui outbound training dapat tercapai secara maksimal.
3.      Cognitive Apprenticeship (Pelatihan Kognitif), yakni proses magang di mana seorang pembelajar secara bertahap memperoleh keahlian melalui interaksi dengan seorang ahli, apakah ahli itu/orang dewasa, lebih tua, atau sebaya. Dari konsep ini, para teoritisi konstruktivis menganjurkan kepada guru pendamping untuk mentranformasikan model pembelajaran ini dalam aktivitas keseharian dengan melibatkan peserta ke dalam tugas-tugas yang kompleks dan menuntun untuk menyelesaikannya.
Kegiatan outbound training tidak hanya diikuti oleh pengurus OSIS saja yang terdiri dari 16 siswa kelas delapan sebagai pengurus OSIS, namun kegiatan ini juga diikuti oleh 8 (delapan) orang siswa kelas tujuh sebagai calon pengurus OSIS selanjutnya. Dengan demikian diharapkan bahwa siswa yang lebih tua usianya dapat membantu siswa kelas tujuh untuk mempersiapkan diri dan memperoleh bekal dapat kelanjutan kepengurusan OSIS. Dalam hal ini, siswa kelas 7 (tujuh) hanya sebatas staff pengurus OSIS dan belum menjadi pengurus OSIS.
4.      Mediated Learning (Scaffolding)
Konsep ini menekankan gagasan dasar bahwa peserta sebaiknya dihadapkan pada tugas-tugas yang kompleks, sulit dan realistis kemudian diberi bantuan yang cukup untuk menyelesaikannya. Konsep ini disebut juga situated learning untuk menggambarkan bahwa belajar itu semestinya mengambil tempat pada kehidupan nyata sebagai tugas yang autentik. Para peneliti menemukan bahwa ketika scaffolding dipakai oleh guru dan teman sebaya dalam pembelajaran kolaboratif, siswa akan terbantu dalam proses pembelajaran (Yarrow & Topping, 2001).
Dalam outbound training pengurus OSIS diberikan permainan-permainan yang membutuhkan pemecahan masalah yang kompleks, namun tetap realistis karena setiap permainan mempunyai solusi dan jawabannya. Hal ini sebagai langkah untuk melatih kemampuan memecahkan masalah (problem solving) dan pembentukan tim (team building). Selain dalam permainan, dalam kegiatan indoor saat mereka diharuskan berpikir untuk membuat visi dan misi OSIS juga membutuhkan proses pertukaran pikiran. Tentu saja, dengan pendampingan guru sebagai fasilitator karena dalam kegiatan ini, siswa tidak dapat dilepaskan seluruhnya. Hal ini sejalan dengan pendapat Santrock (2010), dalam konstruktivis guru menciptakan sesi brainstorming, maka disinilah jelas ada interaksi sosial.
5.      Cooperative Learning (Pembelajaran Kooperatif)
Pendekatan konstruktivis secara khusus memanfaatkan pembelajaran kooperatif secara luas. Teorinya adalah bahwa peserta didik akan lebih mudah menemukan dan menguasai konsep-konsep yang sulit jika mereka bisa saling berbagi tentang permasalahan yang dihadapi. Selain itu, penekanan pada pembelajaran sosial dan penggunaan kelompok sebaya sebagai model/cara tepat untuk berpikir, mengungkapkan dan menanggulangi miskonsepsi antar peserta merupakan elemen kunci dari konsep Piaget dan Vygotsky tentang perubahan kognitif. Pembelajaran kooperatif terjadi ketika siswa bekerja sama dalam kelompok kecil untuk saling membantu dalam belajar (Santrock, 2010).
Dalam outbound training pengurus OSIS, seluruh peserta yang berjumlah 24 dibagi menjadi 4 (empat) kelompok untuk berproses dalam kegiatan. Setiap kelompok terdiri dari siswa kelas 8 (delapan) dan siswa kelas 7 (tujuh), seluruh anggota saling bekerjasama membentuk tim (team building) yang solid dan mencoba memecahkan masalah bersama.