OUTBOUND TRAINING SEBAGAI STRATEGI KONSTRUKTIVIS UNTUK
MENINGKATKAN
TEAM BUILDING DAN PROBLEM SOLVING SKILL
Kajian Empiris pada Latihan
Kepemimpinan Pengurus OSIS
Team building adalah bentuk kerja sama
dalam satu tim. Suatu organisasi yang memiliki jiwa team building akan mampu mencapai tujuan bersama. Seberat apa pun
rintangan yang akan dihadapi, tetapi jika ditangani oleh kelompok yang kompak
dan solid, maka akan dapat dikerjakan dengan baik (Soenarno, 2006). Sedangkan outbound ialah keluar dari semua
rutinitas sehari-hari agar dapat melihat diri sendiri dan tim dari perspektif
yang berbeda sehingga diharapkan bernilai positif dalam meningkatkan kinerja
dan efektifitas kerja perorangan maupun kelompok dan terjadi kolaborasi yang
solid dalam kerja team building dalam
suatu wadah organisasi (Sanoesi, 2008). Selanjutnya problem solving adalah sebuah usaha untuk menemukan cara yang tepat
untuk mencapai sebuah tujuan ketika tujuan tersebut tidak langsung dapat diraih
(King, 2010). Organisasi Siswa Intra
Sekolah (OSIS) adalah
suatu organisasi
formal yang berada di tingkat sekolah di Indonesia yang dimulai dari sekolah menengah yaitu sekolah menengah pertama (SMP).
Latihan/training adalah: (a) mengembangkan pemahaman, pengetahuan, dan
keterampilan, (b) diberikan secara intruksional, baik dalam kegiatan indoor maupun outdoor, (c) objeknya seseorang atau sekelompok orang, (d)
sasarannya untuk memberikan pemahaman, pengetahuan, dan keterampilan kepada
siswa sebagai peserta sesuai dengan kebutuhannya, (e) prosesnya mempelajari dan
mempraktekkan dengan mengikuti prosedur sehingga menjadi kebiasaan, (f)
hasilnya adalah perubahan dalam sebuah tim kerja.
PENDAHULUAN
Pembangunan nasional, pada hakekatnya
bertujuan untuk membangun manusia Indonesia seutuhnya. Manusia merupakan inti
pembangunan, mengingat keberadaannya sebagai tujuan dan pelaku pembangunan.
Dengan kata lain, tujuan utama pengembangan manusia adalah membangun manusia
agar menjadi manusia pembangun. Untuk itu, selain perlu untuk memiliki
keterampilan, manusia perlu memiliki pengetahuan dan kesadaran akan proses di
dalam kelompok tempat manusia berada (Cremer & Siregar, 1993).
Menurut Soenarno (2006), kelompok yang
berfungsi dengan baik adalah kelompok yang anggotanya memiliki motivasi yang
jelas, bekerja secara terkoordinasi, terarah, teratur, serta tidak terhambat
oleh masalah-masalah emosi atau masalah interaksi. Dalam kelompok atau tim
kerja, masing-masing anggota akan berbagi informasi dan saling mendorong untuk
dapat bekerja secara efektif. Sedangkan penelitian Paulus (dalam King, 2010)
mengatakan bahwa seseorang akan berkinerja lebih baik ketika dalam kelompok.
Organisasi Siswa Intra Sekolah (disingkat OSIS) adalah suatu organisasi
yang berada di tingkat sekolah
di Indonesia
yang dimulai dari sekolah menengah yaitu sekolah menengah pertama
(SMP) dan sekolah menengah atas
(SMA). OSIS dikelola oleh murid-murid yang terpilih untuk menjadi pengurus
OSIS. Biasanya organisasi ini memiliki seorang pembimbing dari guru
yang dipilih oleh pihak sekolah. Anggota OSIS adalah seluruh siswa yang berada
pada satu sekolah tempat OSIS itu berada. Seluruh anggota OSIS berhak untuk
memilih calonnya untuk kemudian menjadi pengurus OSIS.
Sebagai pengurus OSIS yang dipilih oleh
seluruh siswa di sekolahnya, maka pengurus OSIS memiliki tanggungjawab untuk
dapat melaksanakan seluruh program kesiswaan sekolah sampai akhir masa tugasnya
dengan baik. Untuk itu, seluruh pengurus OSIS sebagai tim diharapkan memiliki team building yang kuat serta kemampuan
pemecahan masalah (problem solving).
Team
building adalah bentuk kerja sama dalam satu tim. Suatu organisasi yang
memiliki jiwa team building akan
mampu mencapai tujuan bersama. Seberat apa pun rintangan yang akan dihadapi,
tetapi jika ditangani oleh kelompok yang kompak dan solid, maka akan dapat
dikerjakan dengan baik (Soenarno, 2006). Sedangkan menurut King (2010),
pemecahan masalah adalah sebuah usaha untuk menemukan cara yang tepat untuk
mencapai tujuan ketika tujuan tersebut tidak langsung dapat diraih.
Sebuah studi penelitian Liebowitz dan De
Meuse (1982) tentang meta-analisis integrasi penelitian yang
menguji efek team building terhadap
kinerja. Secara
keseluruhan, tidak ada efek yang signifikan dalam team building pada kinerja.
Namun, efek dari team building bervariasi
sebagai fungsi dari jenis operasionalisasi kinerja. Pada ukuran
objektif kinerja, ada kecenderungan yang tidak signifikan team
building mengurangi
kinerja, sedangkan pada ukuran kinerja subyektif, ada yang signifikan, meskipun
kecil, kecenderungan untuk team building untuk meningkatkan
kinerja. Pemeriksaan team building tertentu
mengungkapkan bahwa intervensi menekankan klarifikasi peran yang lebih mungkin
untuk meningkatkan kinerja, sedangkan intervensi yang menekankan penetapan
tujuan, problem
solving, atau hubungan interpersonal tidak lebih mungkin untuk
membuat peningkatan atau penurunan kinerja. Akhirnya, efek dari team
building menurun sebagai
fungsi dari ukuran tim. Terdapat
implikasi dari efek team building pada kinerja.
Salah satu hal yang banyak dilakukan untuk
meningkatkan team building antar
anggota kelompok agar lebih dapat mengenal antar anggota kelompoknya melalui
pengalaman kebersamaan adalah dengan kegiatan outbond yang berdasarkan pada pendekatan experiential learning. Pepatah mengatakan bahwa “pengalaman adalah
guru yang paling baik”. Makna yang sama telah dikemukakan oleh Confucius
beberapa abad lalu. Confucius mengatakan “aku melakukan, maka aku memahami.”
Hal inilah yang melandasi tujuan pendidikan dengan pendekatan experiential learning yang sekarang
marak dilakukan sekolah dengan kegiatan outbond.
Outbound
training menyampaikan materi secara mendalam, dan mengupayakan para
pengurus OSIS sebagai peserta juga dapat menyerap materi melalui
tahapan-tahapan dalam outbound training tersebut.
Maka proses pembelajaran dalam latihan kepemimpinan dalam bentuk outbound menanamkan pengurus OSIS untuk belajar
dengan membentuk pengetahuannya sendiri, yang dikenal dengan pendekatan
konstruktivisme dalam pembelajaran sehingga akan terjadi proses pembelajaran
dimana siswa mengembangkan potensinya sendiri seperti yang dikehendaki definisi
pendidikan dalam Undang-Undang Republik Indonesia nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional. Memotret fenomena
ini, maka peneliti tertarik untuk mengulas lebih jauh bagaimana latihan
kepemimpinan dalam bentuk outbound sebagai
strategi konstruktivis dapat meningkatkan
team building pengurus OSIS.
Outbond
Banyak orang yang kemungkinan pernah
mendengar kata outbound namun tidak
cukup banyak yang memahami makna tentang outbound
itu sendiri, kata outbound
berasal dari pandanan dua suku kata dalam bahasa Inggris out dan bounderes yang berarti keluar dan batas sehingga dalam pengertian
yang sesungguhnya outbound itu ialah
keluar dari semua rutinitas sehari-hari agar dapat melihat diri sendiri dan tim
dari prespektif yang berbeda sehingga diharapkan bernilai positif dalam
meningkatkan kinerja dan efektifitas kerja perorangan maupun kelompok dan
terjadi kolaborasi yang solid dalam kerja team
building dalam suatu wadah organisasi (Sanoesi, 2010). Akitifitas outbound yang mengedepankan nilai-nilai kerjasama (team building) dan penempaan sikap
mental seseorang agar lebih tangguh dalam menjalani aktivitasnya sehari-hari
sehingga kembalinya pengurus OSIS dapat solid.
Training
Pemahaman tentang latihan/training adalah:
(a) mengembangkan pemahaman, pengetahuan, dan keterampilan, (b) diberikan
secara intruksional baik dalam kegiatan indoor
maupun outdoor, (c) objeknya
seseorang atau sekelelompok orang, (d) sasarannya untuk memberikan pemahaman,
pengetahuan, dan keterampilan kepada siswa sebagai peserta sesuai dengan
kebutuhannya, (e) prosesnya mempelajari dan mempraktekkan dengan menuruti
prosedur sehingga menjadi kebiasaan, (f) hasilnya adalah perubahan dalam sebuah
tim kerja (Sanoesi, 2010).
Dari pengertian tersebut, didapatkan
informasi bahwa latihan atau training
bertujuan mengembangkan pemahaman, pengetahuan, dan keterampilan. Hal ini
sangat senada dengan tujuan pendidikan untuk mengembangkan potensi, sehingga
penulis menganggap training merupakan
suatu proses pembelajaran juga. Outbound training memiliki tahapan-tahapan
dalam pembelajaran sebagai berikut: (1) pembentukan pengalaman, (2) perenungan
pengalaman, (3) pembentukan konsep, (4) pengujian konsep.
Dari beberapa tahapan tersebut, dapat
disimpulkan bahwa dalam outbound training
juga menyampaikan materi secara mendalam, dan mengupayakan para pengurus
OSIS sebagai peserta juga dapat menyerap materi melalui tahapan-tahapan
tersebut. Maka proses pembelajaran dalam latihan kepemimpinan menanamkan pengurus
OSIS sebagai siswa sehingga dapat belajar dengan membentuk pengetahuannya
sendiri, yang dikenal dengan pendekatan konstruktivisme dalam pembelajaran
sehingga akan terjadi proses pembelajaran dimana siswa mengembangkan potensinya
sendiri.
Sebelum latihan dalam bentuk outbound dilakukan, tentunya harus
dilakukan penyelidikan tentang materi yang diperlukan pengurus OSIS sebagai peserta,
kemudian menyusun kurikulum dan permainan yang dapat disesuaikan dengan goal dari outbound tersebut. Hal ini identik dengan kegiatan merancang
perencanaan pembelajaran. Sehingga terjadi pembelajaran yang efektif dari latihan
kepemimpinan dalam bentuk outbound tersebut.
Namun menurut Sanoesi (2010), outbound training dalam penerapannya
memiliki karakteristik penyajian yang berbeda dari proses pembelajaran
biasanya. Menurut Sanoesi (2010), program disusun sebagai berikut: (a) perkenalan
dan peregangan (stretching), (b) ice
breaking, (c) penjelasan program, (d) perencanaan (planning), (e) pelaksanaan kegiatan (action), (f) refleksi dan evaluasi, (g) pelaporan (reporting).
Latihan kepemimpinan dalam bentuk outbound merupakan jenis latihan di alam
terbuka (outdoor) untuk pengembangan
diri (self development) yang
disimulasi melalui permainan-permainan edukatif (educative game) baik secara individual maupun kelompok dengan
tujuan untuk meningkatkan motivasi, kepercayaan diri, berpikir kreatif, rasa
kebersamaan, tanggung jawab, komunikasi,
rasa saling percaya. Setiap game outbound mempunyai tujuan-tujuan yang antara
lain team building, communication skills,
problem solving, dan meningkatkan motivasi.
Manfaat Latihan Kepemimpinan dalam Bentuk Outbound
Kegiatan outbound bermanfaat untuk meningkatkan keberanian dalam bertindak
maupun berpendapat. Kegiatan outbound
membentuk pola pikir yang kreatif serta meningkatkan kecerdasan emosional dan
spiritual dalam berinteraksi. Kegiatan ini akan menambah pengalaman hidup
seseorang menuju sebuah pendewasaan diri. Secara spesifik Sanoesi (2009)
menyebutkan manfaat kegiatan outbound ini
dapat dikelompokkan menjadi 5 (lima) area yaitu:
1. Manfaat
psikologis, yakni pengalaman yang didapatkan selama aktifitas outbound ini biasanya merupakan
pengalaman baru buat sebagian besar anak. Sehingga pengalaman ini akan terekam
dan tinggal di pikiran peserta didik dalam rentang waktu yang cukup lama dan
berdampak positif secara psikologis. Sehingga dari pengalaman itu pengurus OSIS
sebagai peserta pelatihan akan mendapatkan manfaat positif secara psikologis
antara lain:
(a) menumbuhkan rasa percaya diri, (b) meningkatkan pemahaman tentang konsep diri, (c) meningkatkan harga diri, (d) meningkatkan kemampuan beradaptasi dengan lingkungan baru, (e) meningkatkan keberanian untuk menguji kemampuan diri, (f) memberikan sensasi positif saat mencoba hal baru, (g) meningkatkan perasaan yang lebih sehat.
(a) menumbuhkan rasa percaya diri, (b) meningkatkan pemahaman tentang konsep diri, (c) meningkatkan harga diri, (d) meningkatkan kemampuan beradaptasi dengan lingkungan baru, (e) meningkatkan keberanian untuk menguji kemampuan diri, (f) memberikan sensasi positif saat mencoba hal baru, (g) meningkatkan perasaan yang lebih sehat.
2. Manfaat
sosial dari pelaksanaan outbound selalu
melibatkan beberapa orang atau kelompok, sehingga pengalaman yang dirasakan
peserta bukan hanya pengalaman secara teknis yang berkaitan dengan tantangan
yang sama. Secara sosial akan berdampak positif terhadap perkembangan pengurus
OSIS antara lain sebagai berikut: (a) mengembangkan sikap peduli pada orang
lain, (b) mengembangkan kemampuan komunikasi, (c) mengembangkan rasa memiliki,
(d) mengembangkan kemampuan untuk memberi umpan balik positif, (e) mengembangkan
kemampuan untuk membangun persahabatan, (f) mengembangkan kemampuan untuk
mengendalikan diri.
3. Manfaat
edukasional, aktifitas outbound diharapkan
mampu melengkapi proses belajar yang telah dilakukan dalam kelas. Sehingga
gabungan antara kegiatan yang rutin dilakukan dalam lingkungan sekolah dengan
belajar di luar lingkungan sekolah akan memberikan hasil pembelajaran yang
menyeluruh. Bahkan kegiatan pembelajaran di luar ruangan ini bisa dijadikan sebagai
media implementasi pengetahuan teori yang telah didapatkan atau sebagai sarana
bereksperimen menggabungkan beberapa disiplin pengetahuan yang didapatkan di
sekolah, juga bisa digunakan untuk membahas tema-tema khusus. Kegiatan ini
dapat memberikan manfaat secara edukasional yakni
mengembangkan kemampuan dalam penyelesaian masalah dan menghargai alam.
mengembangkan kemampuan dalam penyelesaian masalah dan menghargai alam.
Team
Building
Menurut Sanoesi (2010), team building merupakan adalah bentuk
kerjasama dalam satu tim. Team building bukan sekedar teamwork. Teamwork
merupakan unsur aksi secara aktif dalam moment tertentu. Team building jangka waktunya lebih lama. Pada team building, ada proses saling mengenal, proses belajar, trial and error, ada pengalaman
kebersamaan yang saling dirasakan manfaatnya, serta saling mempunyai komitmen
demi kesatuan tim. Selain jangka waktunya lebih lama, team building memiliki tahapan proses yang tidak dimiliki teamwork.
Problem
solving
Problem
solving adalah sebuah usaha untuk menemukan cara yang tepat untuk mencapai
sebuah tujuan ketika tujuan tersebut tidak langsung dapat diraih (King, 2010).
Sedangkan menurut Santrock (2010), pemecahan masalah adalah mencari cara yang
tepat untuk mencapai tujuan.
Konstruktivis
Anak-anak
terkadang berpikir secara mandiri, tetapi sebagai makhluk sosial kognisi anak
seringkali bersifat kolaboratif. Konstruktivisme menekankan bahwa individu akan
belajar dengan baik apabila seseorang secara aktif mengkonstruksi pengetahuan
dan pemahamannya (Santrock, 2010).
Satu prinsip terpenting dalam psikologi
pendidikan yang melandasi teori belajar konstruktivis adalah bahwa guru pendamping
dalam latihan kepemimpinan tidak bisa memberikan pengetahuan kepada peserta
didik dengan begitu saja. Pengurus OSIS sebagai siswa harus membangun sendiri
pengetahuannya. Hal ini sejalan dengan pendapat Bartlett (dalam Smith dkk,
2009) memelopori apa yang menjadi pendekatan kontruktivis. Konstruktivis
percaya bahwa pembelajar mengkontruksi realitasnya sendiri atau paling tidak
menfasirkannya berdasarkan realitasnya sendiri atau paling tidak menafsirkannya
berdasarkan persepsi-persepsi pengalamannya, sehingga pengetahuan individu
menjadi sebuah fungsi dari pengalaman, struktur mental, dan keyakinan-keyakinan
seseorang sebelumnya yang digunakan untuk menfasirkan objek dan peristiwa. Apa
yang seseorang tahu didasarkan pada persepsi dari pengalaman fisik dan sosial
yang dipahami dalam pikiran (Jonasson, 1991).
Guru pendamping hanya bisa menfasilitasi
proses latihan kepemimpinan dalam bentuk outbound
dengan pelbagai cara pembelajaran yang membuat informasi lebih bermakna dan
relevan dengan kehidupan pengurus OSIS sebagai peserta dalam latihan
kepemimpinan. Guru pendamping dalam latihan kepemimpinan dalam bentuk outbound training memberikan kesempatan
seluas-luasnya bagi untuk menemukan sendiri informasi dan mengaplikasikannya,
atau dengan pembelajaran yang mengupayakan pengurus OSIS sebagai peserta memiliki
kesadaran untuk menggunakan strateginya sendiri dalam melaksanakan tugasnya
dalam kepengurusan. Di sini guru pendamping hanya memberikan kepada peserta tangga-tangga
menuju pemahaman yang lebih tinggi, dan pesertalah yang harus menaiki
tangga-tangga tersebut dengan sendirinya.
Hakikat teori belajar konstruktivis
terletak pada gagasan bahwa pembelajar sendiri yang menemukan dan mengolah
pelbagai informasi atau ide-ide yang kompleks menjadi miliknya sendiri. Menurut
teori ini, pebelajar selalu memeriksa informasi-informasi baru yang berlawanan
dengan aturan-aturan lama, dan memperbaiki aturan-aturan tersebut jika tidak
berfungsi lagi. Pandangan konstruktivis ini memiliki implikasi pada
pembelajaran untuk mengupayakan peserta sebagai pebelajar aktif. Karenanya, strategi
konstruktivis ini seringkali disebut student-centered instruction,
pembelajaran yang terpusat pada peserta didik.
Teori konstruktivisme memiliki akar
sejarah yang berujung pada Piaget dan Vygotsky, dua tokoh yang menekankan bahwa
perubahan kognitif niscaya terjadi ketika konsepsi lama berlalu dalam proses
ketidakseimbangan dengan informasi baru. Selain itu, keduanya juga menekankan
pentingnya pembelajaran sosial (social nature learning) dan
pemanfaatan pembelajaran berbasis kemampuan campuran (mixed-ability learning) untuk mendukung terjadinya perubahan
konseptual.
Pemikiran konstruktivis modern tergambar
indah dalam teori-teori Vygotsky yang menekankan pada pembelajaran kooperatif,
pembelajaran berbasis masalah, dan penemuan (Santrock, 2010).
Berikut ini adalah konsep kunci dari
Vygotsky yang memainkan peran penting dalam teori konstruktivisme, yaitu:
1.
Social Learning. Menurut Vygotsky, anak belajar melalui
interaksinya dengan orang dewasa atau teman sebaya yang berkemampuan lebih.
Karenanya, dalam kegiatan kooperatif, pengurus OSIS sebagai siswa akan
mengetahui bagaimana proses berpikir teman-teman sebayanya. Metode ini tidak
hanya membuat hasil belajar terbuka bagi peserta, tetapi juga membuat proses
berpikir peserta yang lain terbuka bagi seluruhnya. Vygotsky menambahkan bahwa problem-solver
yang sukses berbicara pada dirinya sendiri ketika menghadapi masalah-masalah
sulit. Dalam kelompok kerjasama, pembelajar bisa mendengar “suara batin”
tersebut dengan keras dan darinya mampu belajar bagaimana problem-solver
tersebut berpikir dengan pelbagai pendekatannya.
2.
Zone of Proximal Development (ZPD), yakni jarak antara posisi perkembangan aktual yang dicapai
oleh seorang anak di mana tidak mampu menyelesaikan masalah sendirian dengan
posisi perkembangan potensial yang dicapainya karena petunjuk orang dewasa atau
melalui kolaborasi bersama teman-teman sebaya yang lebih mampu. Vygotsky
menyakini bahwa anak akan belajar dengan baik ketika berada di dalam zona
perkembangan proximalnya. Karenanya, proses pembelajaran adalah proses
mendekatkan jarak antara kedua posisi perkembangan (aktual dan potensial)
tersebut. Jika jarak antara keduanya semakin dekat, itu berarti telah terjadi
perkembangan. Pada zone inilah sesungguhnya proses belajar itu terjadi pada
diri seorang anak, dan perkembangan dipandang sebagai hasil belajar.
Siswa yang
menjabat sebagai pengurus OSIS dipersiapkan terlebih dahulu sebelum memulai
kegiatan outbound training. Ketika
dalam posisi yang siap untuk memperoleh pemahaman baru, maka tujuan dari
pembelajaran melalui outbound training
dapat tercapai secara maksimal.
3.
Cognitive Apprenticeship (Pelatihan Kognitif), yakni proses magang di mana seorang pembelajar
secara bertahap memperoleh keahlian melalui interaksi dengan seorang ahli,
apakah ahli itu/orang dewasa, lebih tua, atau sebaya. Dari konsep ini, para
teoritisi konstruktivis menganjurkan kepada guru pendamping untuk
mentranformasikan model pembelajaran ini dalam aktivitas keseharian dengan
melibatkan peserta ke dalam tugas-tugas yang kompleks dan menuntun untuk menyelesaikannya.
Kegiatan outbound training tidak hanya diikuti
oleh pengurus OSIS saja yang terdiri dari 16 siswa kelas delapan sebagai
pengurus OSIS, namun kegiatan ini juga diikuti oleh 8 (delapan) orang siswa
kelas tujuh sebagai calon pengurus OSIS selanjutnya. Dengan demikian diharapkan
bahwa siswa yang lebih tua usianya dapat membantu siswa kelas tujuh untuk
mempersiapkan diri dan memperoleh bekal dapat kelanjutan kepengurusan OSIS. Dalam
hal ini, siswa kelas 7 (tujuh) hanya sebatas staff pengurus OSIS dan belum
menjadi pengurus OSIS.
4.
Mediated Learning (Scaffolding)
Konsep ini
menekankan gagasan dasar bahwa peserta sebaiknya dihadapkan pada tugas-tugas
yang kompleks, sulit dan realistis kemudian diberi bantuan yang cukup untuk
menyelesaikannya. Konsep ini disebut juga situated learning untuk
menggambarkan bahwa belajar itu semestinya mengambil tempat pada kehidupan
nyata sebagai tugas yang autentik. Para peneliti menemukan bahwa ketika scaffolding dipakai oleh guru dan teman
sebaya dalam pembelajaran kolaboratif, siswa akan terbantu dalam proses
pembelajaran (Yarrow & Topping, 2001).
Dalam outbound training pengurus OSIS diberikan
permainan-permainan yang membutuhkan pemecahan masalah yang kompleks, namun
tetap realistis karena setiap permainan mempunyai solusi dan jawabannya. Hal
ini sebagai langkah untuk melatih kemampuan memecahkan masalah (problem solving) dan pembentukan tim (team building). Selain dalam permainan,
dalam kegiatan indoor saat mereka diharuskan berpikir untuk membuat visi dan
misi OSIS juga membutuhkan proses pertukaran pikiran. Tentu saja, dengan
pendampingan guru sebagai fasilitator karena dalam kegiatan ini, siswa tidak
dapat dilepaskan seluruhnya. Hal ini sejalan dengan pendapat Santrock (2010),
dalam konstruktivis guru menciptakan sesi brainstorming, maka disinilah jelas
ada interaksi sosial.
5.
Cooperative
Learning (Pembelajaran Kooperatif)
Pendekatan konstruktivis secara khusus memanfaatkan pembelajaran
kooperatif secara luas. Teorinya adalah bahwa peserta didik akan lebih mudah
menemukan dan menguasai konsep-konsep yang sulit jika mereka bisa saling
berbagi tentang permasalahan yang dihadapi. Selain itu, penekanan pada
pembelajaran sosial dan penggunaan kelompok sebaya sebagai model/cara tepat
untuk berpikir, mengungkapkan dan menanggulangi miskonsepsi antar peserta
merupakan elemen kunci dari konsep Piaget dan Vygotsky tentang perubahan
kognitif. Pembelajaran kooperatif terjadi ketika siswa bekerja sama dalam
kelompok kecil untuk saling membantu dalam belajar (Santrock, 2010).
Dalam outbound training
pengurus OSIS, seluruh peserta yang berjumlah 24 dibagi menjadi 4 (empat)
kelompok untuk berproses dalam kegiatan. Setiap kelompok terdiri dari siswa
kelas 8 (delapan) dan siswa kelas 7 (tujuh), seluruh anggota saling bekerjasama
membentuk tim (team building) yang solid dan mencoba memecahkan masalah
bersama.