Minggu, 14 September 2014

PERAN AYAH DAN KUALITAS KARAKTER ANAK (Fenomena Father Hunger)



Kebetulan sekali di suatu sore, di ruang antri dokter gigi tergeletak majalah wanita Kartini 2342 Edisi 21 Februari - 07 Maret 2013. Menarik sekali di artikel problematika ada judul Kurangnya Peran  Ayah Menyebabkan Rendahnya Kualitas Karakter Anak.

Saya jadi terngiang masa kecil saya berasa bapak saya. Begitu banyak waktu bersama bapak. Dari pagi berangkat sekolah diantar bapak, sampai sore dan menjelang tidur kami sekeluarga selalu berdoa bersama dan kami berebutan meminta berkat dari bapak di akhir doa. Sangat merindukan suasana seperti itu lagi

Mungkin artikel ini bisa menjadi bacaan untuk para ayah dan ibu, yang tentunya di jaman sekarang ini seorang ayah dan ibu menjadi orang tua yang sudah sangat bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan hidup sekarang ini yang begitu luar biasa.

Nah, berikut ini hasil ringkasan saya membaca majalah kartini...

Pendapat bahwa ibu adalah orang yang paling bertanggung jawab akan pendidikan dan pengasuhan anak sangat tertanam lekat dalam benak keluarga Indonesia. Peran ayah menjadi isu yang seolah tidak penting dibicarakan, padahal sebenarnya anak sangat membutuhkan karakter ayah, sama besar seperti memerlukan ibunya.

Apabila berada di toko buku, banyak buku dan pelatihan cara dan bagaimana menjadi ibu yang baik bagi anak-anaknya. Ataupun jarang sekali buku atau penelitian bagaimana fathering skill dibutuhkan pria agar bisa menjadi ayah yang baik.

Sekarang, seiring waktu berjalan, fenomena baru timbul, yakni keinginan untuk memanggil kembali peran ayah dalam pengasuhan dan pendidikan anak agar karakternya tumbuh sempurna.
Bukan tanpa alasan. Dari berbagai penelitian ditemukan bahwa kurangnya peran ayah tidak hanya berakibat pada tidak sempurnanya tumbuh kembang karakter anak, namun juga perilaku yang dibawa anak pada perkembangan selanjutnya kemungkinan akan member dampak negatif pada lingkungan.

Penelitian di AS pada 15.000 remaja menunjukkan hasil: jika peran ayah berkurang, secara personal akan mengakibatkan kemampuan akademik anak menurun, serta aktivitas dan interaksi sosialnya terbatas. Selain itu terjadi peningkatan signifikan pada jumlah remaja putri yang hamil di luar nikah, tingkat kriminalitas, dan penyimpangan psiko-sosial.
Anak juga mengalami ketakutan dan kemarahan yang tidak terkendali, kesepian, kesalahpahaman seksualitas dan kegagalan dalam keterampilan memecahkan masalah.

GENERASI LAPAR AYAH (FATHER HUNGER)

Banyak orang berusia 23 tahun tapi psikologisnya seperti remaja 11 tahun. Kurang percaya diri menyelesaikan masalah, serta tidak bisa mengambil keputusan secara mandiri dan mantap. Hal ini terjadi karena pada usia 0-10 tahun, yang merupakan masa emas pertumbuhan karakter anak, tidak mendapatkan karakter-karakter maskulin dari ayahnya. Padahal ayahlah sumber terbaik untuk menyumbang pendidikan moralitas serta perilaku berani memimpin, memiliki rasa percaya diri, mengambil sikap dan berani memutuskan.

Generasi lapar ayah atau fatherhunger menyebabkan anak hanya bisa menyelesaikan masalah jika tidak dengan marah ya melarikan diri.

Generasi lapar ayah lebih banyak ditemukan di daerah perkotaan karena tergerusnya budaya dan nilai positif masyarakat. Namun contoh baik masih ada di daerah Palangkaraya, Kalimantan Tengah. Di sana ada tradisi sangat baik dan patut dicontoh. Yakni, sebuah upacara yang memberikan kesempatan bagi para ayah untuk meminta maaf pada anaknya di depan umum. Sementara di perbatasan Indonesia dengan Papua Nugini, ada kebiasaan ayah yang baru pulang dari hutan akan berbagi cerita dengan anak tentang apa saja yang dialami di hutan dan bagaimana cara ayah menghadapinya.
Anak dapat mencontoh, bahwa ayahpun bisa salah, namun harus bersikap rendah hati meminta maaf. Ayah juga bisa memberikan gambaran seperti apa sebenarnya dunia yang harus dihadapi dan solusi untuk memecahkan masalah.